Jelaskan pengertian qhisas beserta dalilnya

 Arti Etimologi Qishash


Qishash diambil dari kata Qhassa (قَصَّ) yang berarti “mengikuti/menelusuri” sebagaimana tersebut dalam firman Allah ta’ala,


فَارْتَدَّا عَلَى آَثَارِهِمَا قَصَصًا


“Lalu keduanya kembali, mengikuti (قَصَصًا) jejak mereka semula.” (QS. Al-Kahfi: 64)


Makna etimologi ini memiliki keterkaitan dengan pengertian terminologi qishash; karena korban (atau wali korban) mengikuti jejak pelaku hingga meng-qishashnya (melalui tangan pihak berwenang). Qishash juga diserap dari kata Al-qhassh (القَصّ) yang berarti memotong, seperti (قَصَّ الشَعْر) atau “memotong rambut”. Makna ini juga memiliki keterkaitan dengan pengertian terminologi qishash; karena korban/wali korban menelusuri jejak pelaku hingga membunuh atau melukainya (dengan hukuman potong) sebagaimana yang pelaku lakukan. Qishash juga bisa berarti (المُسَاوَاة) atau “persamaan”.


Arti Terminologi Qishash


Qishash ialah:


أَنْ يُفْعَلَ بِاْلجَانِي مِثْل مَا فَعَلَ بِالْمَجْنِيْ عَلَيْهِ


“Tindakan yang dilakukan terhadap pelaku, sebagaimana yang telah pelaku lakukan terhadap korban”


Qishash ialah hukuman dalam syariat Islam atas manusia yang sengaja menghilangkan jiwa (membunuh) atau melukai anggota tubuh manusia lainnya. Jika pelaku membunuh, makan dia dibunuh, jika dia melukai, maka dia dilukai, setelah terpenuhi syarat-syarat ketat yang telah ditetapkan oleh agama Islam, melalui tangan pihak yang berwenang (pemerintah).


Dalil Kewajiban Menegakkan Qishash


Menegakkan qishash hukumnya wajib, jika tidak ditegakkan maka pihak yang bertanggung jawab telah berdosa. Dalil kewajiban menegakkan qishash tersebut dalam Al-Qur’an, As-Sunnah dan Al-Qiyas.


1. Dalil Al-Quran.

Allah ta’ala berfirman,


وَكَتَبْنَا عَلَيْهِمْ فِيهَا أَنَّ النَّفْسَ بِالنَّفْسِ وَالْعَيْنَ بِالْعَيْنِ وَالْأَنْفَ بِالْأَنْفِ وَالْأُذُنَ بِالْأُذُنِ وَالسِّنَّ بِالسِّنِّ وَالْجُرُوحَ قِصَاصٌ فَمَنْ تَصَدَّقَ بِهِ فَهُوَ كَفَّارَةٌ لَهُ وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ


“Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (kitab suci) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka-luka (pun) ada qishash-nya. Barangsiapa yang melepaskan (hak qishash)nya (memaafkan), maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim.” (QS. Al-Maidah: 45)


Allah ta’ala berfirman,


يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِصَاصُ فِي الْقَتْلَى الْحُرُّ بِالْحُرِّ وَالْعَبْدُ بِالْعَبْدِ وَالْأُنْثَى بِالْأُنْثَى فَمَنْ عُفِيَ لَهُ مِنْ أَخِيهِ شَيْءٌ فَاتِّبَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ وَأَدَاءٌ إِلَيْهِ بِإِحْسَانٍ ذَلِكَ تَخْفِيفٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَرَحْمَةٌ فَمَنِ اعْتَدَى بَعْدَ ذَلِكَ فَلَهُ عَذَابٌ أَلِيمٌ، وَلَكُمْ فِي الْقِصَاصِ حَيَاةٌ يَا أُولِي الْأَلْبَابِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ


“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian qishash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat suatu pema’afan dari saudaranya, hendaklah (yang mema’afkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diyat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih (178). Dan dalam qishaash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagi kalian, hai orang-orang yang berakal, supaya kalian bertakwa (169).” (QS. Al-Baqarah: 179)


Disebutkan dalam ayat Al-Quran di atas: “Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim”, sehingga tidak menegakkan qishash termasuk keharaman. Ayat yang lain menjelaskan kewajiban menegakkannya: “Diwajibkan atas kalian qishash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh”. Qishash yang dimaksud dalam ayat ini ialah karena tindakan sengaja. Sedangkan perbuatan yang dilakukan karena ketidaksengajaan tidaklah wajib diqishash, melainkan dengan diyat (الدِّيَة) atau membayar ganti rugi. Allah ta’ala berfirman,


وَمَنْ قَتَلَ مُؤْمِنًا خَطَأً فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ وَدِيَةٌ مُسَلَّمَةٌ إِلَى أَهْلِهِ


“Dan barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (tidak sengaja), maka ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman, serta membayar diyat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu).” (QS. An-Nisa’: 92)


2. Dalil As-Sunnah.

Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,


الْعَمْدُ قَوَدٌ إِلا أَنْ يَعْفُوَ وَلِي الْمَقْتُولِ


“(Bagi yang) sengaja (melukai atau membunuh, hukumannya) ialah qishash, kecuali jika wali yang terbunuh memaafkan.” (HR. Ad-Darquthni & Ibnu Abi Syaibah, shahih)


3. Dalil Al-Qiyas.

Kejahatan tindakan kriminal menjadi semakin lengkap ketika dilakukan secara sengaja, hukuman yang berefek jera diperlukan untuk menghentikannya. Hikmah efek jera menjadi semakin lengkap pula dengan hukuman yang lebih berat, yaitu qishash terhadap pelaku; karena qishash ialah hukuman yang ditegakkan sebagai hukuman tindakan kriminal sengaja; juga karena hukuman terberat ini tidak akan terlaksana kecuali tindakan kriminal ini telah terlaksana sepenuhnya, sedangkan kejahatan kriminal yang lengkap ini tidak akan terlaksana kecuali dengan unsur kesengajaan.


Hukuman Bagi Pelaku Pembunuhan Sengaja


Para ulama berselisih pendapat akan hukuman wajib bagi pelaku pembunuhan sengaja:


Pendapat pertama: Hukuman bagi pelaku pembunuhan sengaja ialah qishash, tidak ada pilihan diyat (membayar ganti rugi) bagi korban/wali korban. Hukuman bagi pelaku hanya dua, yaitu qishash atau kalau tidak demikian, maka memaafkan sepenuhnya tanpa ada biaya ganti rugi. Pendapat pertama ini merupakan pendapat fuqaha (para ahli fiqih) dari madhzab Al-Hanafiyah, Al-Malikiyah, dan salah satu pendapat Imam As-Syafi’i.


Pendapat kedua: Hukuman bagi pelaku pembunuhan sengaja ialah qishash atau diyat (membayar ganti rugi). Korban/wali korban berhak memilih hukuman yang ditujukan bagi pelaku, meng-qishash jika mau, atau mengambil ganti rugi meskipun pelaku tidak ridha membayarnya. Pendapat kedua ini merupakan pendapat fuqaha dari madzhab Al-Hanabilah, As-Syafi’iyyah, Adz-Dzohiriyyah, dan juga pendapat yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas, Said bin Musayyib, Atha’, Al-Hasan Al-Bashri dan yang lainnya. Pendapat inilah yang insyaAllah lebih rajih (condong kepada kebenaran).


Pihak korban/wali korban berhak memilih dua pilihan: meng-qishash pelaku, atau menuntut diyat sebagai ganti rugi. Pihak korban otomatis berhak mendapatkan ganti rugi jika tidak menuntut hukuman qishash, meskipun tidak menyebutkan jumlah diyat, kecuali jika memang mereka memaafkan pembayaran diyat juga. Pihak pelaku dan pihak korban boleh juga bersepakat akan biaya ganti rugi yang harus dibayarkan, sebagai ganti dibatalkannya hukuman qishhash. Dalil-dalil mereka ialah:


1. Dalil Al-Qur’an:

Firman Allah ta’ala, {يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِصَاصُ فِي الْقَتْلَى} “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian qishash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh” hingga akhir ayat. Diriwayatkan oleh Ibnu Abbas dalam tafsirnya, beliau berkata: “Dulu Bani Israel menegakkan qishash, namun tidak dengan diyat, maka dari itu diturunkanlah firman Allah ta’ala, {كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِصَاصُ فِي الْقَتْلَى الْحُرُّ بِالْحُرِّ} hingga firmanNya, {فَمَنْ عُفِيَ لَهُ مِنْ أَخِيهِ شَيْءٌ}. Arti “memaafkan” (العَفْو) dalam ayat ini ialah meninggalkan qishash dan menerima diyat (ganti rugi) yang dibayarkan oleh pelaku sebagai pengganti hukuman qishash.


2. Dalil As-Sunnah:

Diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu,bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,


مَنْ قُتِلَ لَهُ قَتِيْلٌ فَهُوَ بِخَيْرِ النَظرَيْنِ: إِمَّا أَنْ يَفْتَدِيَ وَإِمَّا أَنْ يَقْتُلَ


“Siapa yang miliknya (diri atau keluarganya) dibunuh, maka dia (boleh memilih) antara dua pilihan: Mengambil ganti rugi (diyat), atau membunuh (qishash).” (HR. Jama’ah)


Dari Abi Syuraih Al-Khuza’i radhiyalla ‘anhu, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaini wasallam bersabda,


مَنْ أُصِيْبَ بِدَمٍ أَوْ خَبَلٍ -وَالخَبَلُ الجَرَاحُ- فَهُوَ بِالخِيَارِ بَيْنَ إِحْدَى ثَلَاثٍ: إِمَّا أَنْ يَقْتَصَّ، أَوْ يَأْخُذَ العَقْلَ، أَوْ يَعْفُوَ، فَإِنْ أَرَادَ رَابِعَةً فَخُذُوا عَلَى يَدَيْهِ


“Siapa yang terkena darah (dibunuh) atau luka (dilukai), maka dia (boleh) memilih satu antara tiga pilihan: meng-qishshash, mengambil ganti rugi (diyat), atau memaafkan (tanpa membayar diyat), dan jika dia memilih pilihan keempat (lebih dari qishash atau diyat) maka ambillah tangannya (laranglah).”” (HR. Ahmad, Abu Dawud dan Ibnu Majah)


Dari Wail bin Hajar radhiyallahu ‘anhu dia berkata: “Aku dulu pernah bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam lalu tibalah seorang pembunuh yang lehernya diikat dengan tali. Nabi berkata kepada wali yang terbunuh:


“أَتَعْفُو؟ ” قَالَ: لاَ، قَالَ: “أَتَأْخُذُ الدِيَةَ؟ ” قَالَ: لاَ، قَالَ: “أَفَتُقْتَل؟ ” قَالَ: نَعَمْ


“Apakah kamu memaafkan?”, dia menjawab: “Tidak”, “Apa kamu mengambil diyat?”, dia menjawab “Tidak”, “Apa dia dibunuh?”, dia menjawab: “Iya’.


Dalam hadits ini Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan tiga pilihan: memaafkan, membayar ganti rugi, atau qishosh tanpa bertanya terlebih dahulu kepada pembunuh ataupun menoleh kepadanya.


3. Dalil Al-Atsar:

Menguatkan dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah, sebuah riwayat dari khalifah Umar bin Abdul Aziz tatkala menulis hukuman bagi seorang wanita yang membunuh laki-laki: “Jika para wali (korban) mau memaafkan, maka maafkanlah, jika mau membunuh (meng-qishash) maka bunuhlah, dan jika mau mengambil ganti rugi (diyat), maka ambillah ia, dan ambilkan warisan istri (korban) dari diyat itu.”


Dari Ma’mar bin Qotadah dia berkata: “Dulu (khalifah) pernah memaksa pembunuh memberikan diyat (setelah wali korban menolak qishash, pen). Jika mereka (korban dan pelaku) bersepakat atas sepertiga diyat maka boleh, karena yang menggunakannya ialah pemiliknya.”


Hal ini juga merupakan pendapat kebanyakan ulama salaf diantaranya Said bin Musayyib, Muhammad bin Sirin, Al-‘Auza’iy, As-Syafi’i, Abu Tsaur, Ahmad bin Hanbal, Ishaq, Abu Sulaiman, dan lainnya. [1]


 qisas hadit

Komentar

Postingan populer dari blog ini

siklus foto sintesis dan tempat terjadinya

nama nama alkuran dan dalil penamaannya